Kupang-NTT. Di sebuah desa di pedalaman Timor, bel sekolah bukan penanda masuk kelas. Yang menentukan adalah cuaca, jarak, dan keberuntungan. Jika hujan deras, sungai meluap dan jembatan tak bisa diseberangi; puluhan anak terpaksa kembali ke rumah. Jika perahu tak berani berlayar, anak-anak kepulauan akan melewatkan pelajaran hari itu — lagi dan lagi.
Inilah potret nyata pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi yang kaya budaya ini justru menjadi salah satu daerah dengan peringkat pendidikan terendah di Indonesia. Bukan sehari dua hari. Bertahun-tahun.
Pertanyaannya: ada apa sebenarnya?
Pendidikan yang Terjebak Geografi
NTT adalah gugusan pulau dan wilayah pegunungan yang sulit dijangkau. Perjalanan menuju sekolah bukan sekadar langkah kecil; terkadang sebuah perjalanan yang penuh risiko. Jalan tanah, tanjakan, sungai, dan keberadaan sekolah yang terlalu jauh menjadi tembok penghalang hak pendidikan.
Seorang ibu di daratan Timor pernah berkata, “Daripada anak saya berangkat pagi dan pulang malam karena sekolah jauh, lebih baik bantu saya di kebun.”
Di sini, keinginan sekolah dikalahkan oleh realitas hidup.
Angka yang Menceritakan Derita Sunyi
Di balik papan tulis yang kusam, angka memperlihatkan krisis:
Ratusan ribu anak di NTT tidak bersekolah.
Banyak guru harus mengajar lebih dari satu kelas sekaligus karena kekurangan tenaga pendidik.
Banyak sekolah tak memiliki listrik, buku, atau bangunan layak.
Sebagian besar wilayah masih tertinggal dalam literasi dan numerasi.
Ketertinggalan ini bukan akibat kurang minat belajar.
Ini karena sistem belum berpihak pada yang terpencil.
Guru: Pahlawan dalam Keterbatasan
Di beberapa sekolah, guru adalah segalanya. Kepala sekolah, bendahara, pengasuh, bahkan tukang perbaikan bangunan.
Distribusi guru timpang:
di kota-kota seperti Kupang atau Labuan Bajo, guru melimpah;
di desa-desa pedalaman, satu guru adalah “kemewahan”.
Bahkan banyak guru mengajar tanpa sertifikasi, tanpa pelatihan yang cukup.
Mereka ingin meningkatkan diri, tapi akses pelatihan pun jauh — atau mahal.
Bangunan yang Menghalangi Masa Depan
Ada sekolah yang dindingnya bolong dan atapnya bocor.
Ada sekolah dengan kursi yang patah, papan tulis yang hampir jatuh.
Ada sekolah yang hanya memiliki satu ruang kelas untuk semua tingkatan.
Seorang siswa kelas 3 SD pernah menanyakan:
“Kalau buku habis, kita belajar apa, Bu?”
Pertanyaan sederhana yang menusuk:
bagaimana membangun masa depan dengan ruang belajar yang tak layak?
Tekanan Ekonomi: Ketika Pendidikan Menjadi Pilihan Mewah
Kemiskinan menjadi musuh utama pendidikan.
Bukan uang sekolah yang jadi masalah — tapi seragam, alat tulis, ongkos perjalanan, dan biaya hidup.
Di banyak keluarga, sekolah bukan prioritas — bukan karena tak penting,
melainkan karena makan hari ini lebih penting daripada gelar esok hari.
Generasi baru akhirnya tumbuh dengan kemampuan terbatas.
Siklus kemiskinan berulang tanpa henti.
Kebijakan yang Belum Menyentuh Akar Masalah
Program sudah ada. Anggaran juga turun. Tetapi implementasi tidak merata.
Daerah yang sulit dijangkau — justru paling sulit mendapatkan bantuan.
Seolah-olah pendidikan di NTT berjalan dalam dua dunia:
Dunia kota: akses pelatihan, fasilitas cukup, guru tersedia.
Dunia desa: semua serba seadanya.
Ada sekolah yang terus maju.
Ada pula sekolah yang seolah dilupakan.
Kesenjangan itu nyata — dan tajam.
Konsekuensi yang Mengancam Masa Depan
Jika situasi ini dibiarkan:
NTT akan terus berada di peringkat belakang secara nasional.
Kemiskinan akan semakin sulit diputus.
Ratusan ribu mimpi anak bangsa akan padam sebelum sempat menyala.
Ini bukan hanya persoalan NTT — ini persoalan kemanusiaan dan keadilan.
Suara Perubahan dari Ujung Negeri
Di banyak tempat, murid-murid tetap datang ke sekolah meski harus berjalan jauh.
Guru-guru tetap mengajar meski gaji sering terlambat.
Masyarakat tetap berharap — meski kenyataan belum berpihak.
Mereka tidak menyerah.
Yang mereka butuhkan adalah kita tidak menyerah terhadap mereka.
Penutup: Jangan Biarkan Mereka Berjuang Sendirian
Pendidikan di NTT tidak boleh hanya menjadi paragraf kecil dalam laporan negara.
Di balik setiap data — ada wajah, ada impian, ada masa depan.
Kita harus berhenti menyalahkan dan mulai memperjuangkan:
akses yang layak, guru yang merata, fasilitas yang manusiawi, kebijakan yang tepat sasaran.
Karena masa depan tidak hanya milik anak kota.
Mereka yang tinggal di ujung negeri — pun berhak atas cahaya ilmu.
Dan perjuangan itu dimulai dari kepedulian kita hari ini.

