Laptop Sekolah Seharga Rp10 Juta: Dugaan Pemborosan dalam Pengadaan Kementerian Pendidikan

Jakarta – Pengadaan laptop untuk sekolah-sekolah oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menuai sorotan tajam setelah muncul data bahwa setiap unit laptop dihargai hampir Rp10 juta, jauh di atas harga pasar untuk spesifikasi serupa.

Program ini merupakan bagian dari digitalisasi pendidikan tahun anggaran 2021-2023. Dalam dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP), disebutkan bahwa pemerintah mengalokasikan lebih dari Rp3,7 triliun untuk pembelian ratusan ribu laptop bagi sekolah dasar hingga menengah di seluruh Indonesia, termasuk daerah tertinggal.

Namun, berdasarkan spesifikasi yang tertulis dalam dokumen pengadaan, laptop yang dibeli pemerintah adalah berjenis standar dengan prosesor Celeron, RAM 4GB, dan penyimpanan 128GB eMMC. Di pasar bebas, spesifikasi ini biasa ditemukan pada laptop di kisaran harga Rp3-4 juta.

Harga Melonjak Dua Kali Lipat

“Bila dilihat dari harga pasar, spesifikasi ini tergolong entry-level. Tidak masuk akal jika harganya sampai Rp10 juta per unit,” ujar Arief Nugroho, analis teknologi dari ICT Watch. “Bahkan dengan margin distribusi, logistik, dan pajak sekalipun, selisihnya terlalu besar.”

Tim investigasi menelusuri sejumlah kontrak pengadaan di LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) di berbagai provinsi. Dalam beberapa dokumen, harga per unit tercatat Rp9,882,000, dengan vendor-vendor yang relatif baru atau minim rekam jejak pengadaan besar sebelumnya.

Vendor Misterius dan Kemasan “TIK”

Pengadaan ini dibungkus dalam paket “perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK)”, yang mencakup laptop, router WiFi, dan sistem proteksi. Namun ketika ditelusuri lebih jauh, beberapa sekolah penerima hanya menerima laptop, tanpa kelengkapan jaringan atau sistem keamanan sesuai klaim.

“Laptopnya lambat dan hanya bisa dipakai untuk mengetik. Tidak bisa buka Zoom atau aplikasi berat,” ujar Siti Aminah, guru SD di Kabupaten Belu, NTT. “Kami diberi tahu ini adalah bantuan pusat, jadi tidak bisa komplain.”

KPK dan BPK Diminta Menyelidiki

Sejumlah lembaga anti-korupsi sipil, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyelidiki indikasi markup dan konflik kepentingan dalam proses tender dan distribusi barang.

ICW menduga adanya kongkalikong antara vendor lokal dan oknum dalam kementerian atau dinas pendidikan untuk membagi-bagi proyek dan keuntungan. “Ini potensi kerugian negara dalam jumlah besar yang merugikan anak-anak sekolah,” tegas Egi Primayogha dari ICW.

Kemendikbudristek Membantah

Pihak Kemendikbudristek dalam rilis resmi menyatakan bahwa harga sudah melalui proses e-katalog dan mempertimbangkan biaya distribusi ke daerah terpencil. Namun, mereka belum menjawab detail perbedaan harga mencolok dibandingkan harga pasaran.

“Semuanya telah sesuai prosedur dan transparan. Jika ada bukti penyimpangan, kami terbuka untuk audit,” ujar Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen saat dikonfirmasi.

Catatan Penutup

Proyek digitalisasi pendidikan seharusnya menjadi pijakan penting bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan di bidang teknologi dan akses pembelajaran. Di era revolusi industri 4.0, perangkat seperti laptop bukan hanya alat bantu, melainkan jembatan menuju kesempatan yang lebih besar: pengembangan potensi siswa, keterhubungan global, serta kesiapan menghadapi dunia kerja dan inovasi.

Namun, ketika proyek sebesar ini dibalut dalam kebijakan yang tidak transparan dan diwarnai praktik-praktik pengadaan yang janggal, semangat mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi buram. Harga laptop yang jauh di atas harga pasar, pemilihan vendor dengan rekam jejak lemah, hingga ketidaksesuaian barang di lapangan menjadi sinyal bahwa proyek ini mungkin lebih menguntungkan pihak tertentu dibandingkan peserta didik.

Yang paling dirugikan dari skema seperti ini adalah anak-anak di daerah tertinggal. Ketika dana triliunan digelontorkan, mereka masih harus belajar dengan perangkat lambat, ruang kelas seadanya, bahkan tanpa jaringan listrik yang stabil. Dalam banyak kasus, guru pun kesulitan memanfaatkan perangkat bantuan karena kurangnya pelatihan dan dukungan teknis.

Pengawasan publik, investigasi independen, dan audit dari lembaga negara seperti BPK dan KPK menjadi kebutuhan mendesak. Proyek pendidikan, terutama yang menggunakan dana rakyat, tidak boleh dikelola dengan logika untung-rugi semata. Harus ada keberpihakan moral dan tanggung jawab etis yang besar terhadap generasi penerus bangsa.

Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal angka dan anggaran, tapi tentang masa depan. Dan masa depan tidak bisa dibangun di atas pondasi kebohongan dan pemborosan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top