Oleh: Tim Investigasi I 23 September 2025
Dari sekian banyak fakta dalam kasus dugaan penganiayaan guru Informatika SMAN 1 Kupang, oleh siswi kelas XI berinisial VS, ada satu kalimat yang paling menyulut perhatian publik: “Lu tunggu sa, beta pung mama su lapor lu di dinas.”
Pernyataan singkat namun sarat makna ini bukan sekadar luapan emosi seorang remaja. Kalimat itu menyingkap potret buram relasi guru dan murid, sekaligus menyalakan alarm bahaya: bahwa otoritas guru kini terancam runtuh bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga di hadapan lembaga yang seharusnya melindunginya.
Ancaman yang Menyeret Nama Orang Tua
Kalimat ancaman VS jelas menempatkan orang tua sebagai senjata. Murid yang mestinya tunduk pada aturan guru justru menjadikan keluarga sebagai tameng untuk menekan. Ini menunjukkan adanya pergeseran pola pikir: guru bukan lagi figur yang dihormati, melainkan pihak yang bisa dilawan dengan otoritas eksternal.
Para pengamat pendidikan menilai, penggunaan “orang tua” sebagai senjata retoris berbahaya karena menciptakan jurang antara sekolah dan keluarga. Alih-alih mendukung guru dalam mendisiplinkan anak, orang tua justru dijadikan simbol intimidasi terhadap otoritas sekolah.
Hancurnya Adab, Runtuhnya Wibawa
Secara sosiolinguistik, kalimat “Lu tunggu sa” sudah mencerminkan bahasa perlawanan, penuh tantangan, dan menolak otoritas. Ditambah klausa “beta pung mama su lapor di dinas,” ancaman itu berubah menjadi serangan psikologis yang menundukkan wibawa guru di depan kelas. Murid lain tentu menjadi saksi, dan secara tidak langsung belajar bahwa guru pun bisa dipermalukan lewat ancaman laporan.
Seorang guru senior di Kupang mengatakan, “Dulu anak takut pada guru karena melihat guru sebagai pengganti orang tua di sekolah. Sekarang guru takut pada murid karena murid menjadikan orang tua sebagai alasan untuk melawan.”
Efek Domino bagi Dunia Pendidikan
Jika narasi seperti ini dibiarkan, efeknya bisa menghancurkan tatanan sekolah. Guru akan ragu menegakkan aturan, khawatir dilaporkan setiap kali mengambil tindakan disiplin. Murid pun belajar bahwa ketaatan bukanlah nilai utama, melainkan strategi mencari celah untuk menghindari konsekuensi.
Publik kini bertanya-tanya: bagaimana pendidikan bisa berjalan sehat jika ruang kelas menjadi arena ancam-mengancam, bukan lagi tempat belajar menghormati?
Indonesia Emas dalam Bayang-bayang Ancaman
Pernyataan VS sesungguhnya jauh lebih berbahaya daripada sekadar insiden fisik. Ia melambangkan krisis moral generasi muda yang mestinya dipersiapkan menuju Indonesia Emas 2045. Dengan sikap demikian, yang lahir bukanlah generasi unggul, melainkan generasi yang menjadikan orang tua dan lembaga formal sebagai senjata untuk melawan pendidiknya.
Pertanyaan pun mencuat: apakah kita sedang menyiapkan generasi emas, ataukah kita diam-diam membiarkan lahirnya generasi yang meruntuhkan martabat gurunya dengan ancaman dan tameng orang tua?