Oleh: TIm Investigasi I 24 September 2025
Kasus dugaan penganiayaan guru Informatika SMAN 1 Kota Kupang, oleh siswi berinisial VS, terus menuai perhatian luas. Namun menariknya, perhatian publik kini tidak hanya tertuju pada bentrokan fisik guru dan murid, melainkan juga pada pernyataan kepala sekolah, Dra. Marselina Tua, yang dinilai memiliki bobot moral tersendiri dalam membentuk opini masyarakat.
Dalam klarifikasinya, Marselina mengakui bahwa peristiwa itu benar terjadi, namun menambahkan kalimat, “Iya benar, tapi tidak mungkin ada asap tanpa api kan.” Ia juga menyebut bahwa siswi menendang guru setelah lebih dulu ditempeleng.
Pandangan Masyarakat yang Terbelah
Pernyataan ini segera menimbulkan beragam tafsir di ruang publik. Sebagian masyarakat menilai kepala sekolah hanya berusaha menjaga keseimbangan dan menenangkan situasi. Tetapi tidak sedikit pula yang membaca pernyataan itu sebagai sikap yang berpotensi melemahkan posisi guru di hadapan murid.
“Kalimat seperti itu terdengar wajar, tapi kalau kita pikir lagi, seakan ada pesan bahwa guru bisa ikut dipersalahkan. Padahal guru mestinya mendapat perlindungan penuh,” ungkap salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.
Di media sosial, komentar warganet juga riuh. Ada yang menilai kepala sekolah berhati-hati demi citra sekolah, namun ada pula yang mempertanyakan apakah kehati-hatian itu justru membuat wibawa guru semakin jatuh.
Kepala Sekolah dalam Sorotan
Bagi masyarakat, kepala sekolah bukan hanya administrator pendidikan, tetapi juga simbol perlindungan bagi guru. Karena itu, ucapan Marselina yang terkesan “netral” kini ditafsirkan publik secara lebih jauh: apakah ia sedang menjaga sekolah, atau tanpa sadar membiarkan posisi guru semakin rapuh?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus muncul di forum-forum diskusi, menandakan bahwa opini publik sudah terseret untuk menyoroti sikap pucuk pimpinan sekolah dalam kasus ini.
Cermin Moral di Tengah Krisis Pendidikan
Peristiwa SMAN 1 Kupang ini kini dianggap bukan sekadar konflik personal, melainkan potret moralitas pendidikan kita. Ketika guru bisa dilawan, bahkan sampai dilukai, dan ketika kepala sekolah berbicara dengan nada yang multitafsir, masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah nilai hormat dan adab kepada pendidik masih dijunjung tinggi?
Kasus ini pada akhirnya memunculkan refleksi lebih luas: Indonesia yang bermimpi menuju “Indonesia Emas 2045” ternyata masih berhadapan dengan persoalan mendasar—moral siswa yang goyah dan sikap lembaga pendidikan yang dipertanyakan.