Oleh: Tim Investigasi I 22 September 2025
Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang peristiwa yang memalukan. Seorang guru yang seharusnya dihormati, dijadikan teladan, dan dilindungi, justru diperlakukan layaknya musuh oleh siswanya sendiri. Guru Informatika SMAN 1 Kota Kupang, mengaku dianiaya siswinya berinisial VS. Ia ditendang di hadapan murid lain setelah berusaha menegakkan aturan kelas.
Insiden ini bukan sekadar pertikaian kecil di ruang belajar. Peristiwa ini menjadi simbol hancurnya wibawa seorang pendidik di depan siswanya, dan lebih jauh lagi, menggambarkan betapa rapuhnya moral generasi muda saat ini. Jika seorang guru bisa ditantang, diancam, bahkan dipermalukan oleh muridnya, lalu apa yang patut di harapkan dari pendidikan di ruang kelas?
Kasus ini menampar kesadaran kita bersama: Indonesia sedang menghadapi krisis besar dalam dunia pendidikan. Guru yang seharusnya dijunjung tinggi justru kehilangan wibawa, sementara siswa yang seharusnya belajar hormat malah berani melawan. Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, justru lahir generasi yang kehilangan etika, moral, dan rasa hormat kepada sosok pendidik.
Dari Teguran Disiplin Berujung Kekerasan
Kasus bermula pada 31 Juli 2025, ketika Rini menegur VS karena menggunakan make-up di kelas. Bukannya menyesal, VS justru berulang kali melanggar aturan: absen sebulan tanpa alasan jelas, berpura-pura muntah mengejek guru, hingga menggunakan ponsel saat ujian.
Ketika ditegur, VS melontarkan ancaman, “Lu tunggu sa, beta pung mama su lapor lu di dinas.” Kata-kata itu menampar martabat seorang guru, memperlihatkan bagaimana seorang siswa dengan enteng menantang otoritas pendidikan.
Puncaknya, pada 12 September 2025, ketika ujian tengah berlangsung. Rini menegur VS yang tak patuh, lalu menarik kerah bajunya. Namun, VS merespons dengan menendang guru. Seorang guru yang seharusnya disegani justru dipermalukan di depan kelas, diserang oleh siswinya sendiri.
Hukuman Ringan, Martabat Guru yang Semakin Ambruk
Alih-alih mendapat keadilan, kasus ini justru ditutup dengan sanksi skorsing satu minggu untuk VS. Guru yang merasa terhina, ditendang, dan direndahkan di hadapan siswa lain, seakan hanya menjadi catatan kecil dalam administrasi sekolah.
Lebih ironis, kepala sekolah justru menyatakan “tidak ada asap tanpa api”, seakan membenarkan perlawanan siswi terhadap guru. Pernyataan ini bukan hanya melukai hati sang guru, tetapi juga mengirim pesan berbahaya: guru bisa diperlakukan semena-mena, dan siswa tidak perlu takut karena sanksinya tetap ringan.
Simbol Runtuhnya Wibawa Guru
Apa yang terjadi di SMAN 1 Kupang ini bukan insiden sepele. Ia adalah cermin retaknya hubungan guru dan murid. Jika seorang siswa bisa menendang guru di depan kelas, lalu lolos hanya dengan skorsing seminggu, maka siapa yang akan menghormati guru setelah ini?
Wibawa guru yang dahulu menjadi benteng disiplin kini hancur lebur. Guru tidak lagi dipandang sebagai sosok teladan, melainkan target ejekan, ancaman, bahkan kekerasan dari muridnya sendiri.
Moral Siswa yang Runtuh, Ancaman bagi Indonesia Emas
Lebih jauh, kasus ini mengingatkan kita bahwa masalahnya bukan hanya hilangnya wibawa guru, tetapi juga runtuhnya moral siswa. Di tengah gembar-gembor cita-cita Indonesia Emas 2045, kenyataan di lapangan justru menunjukkan generasi muda yang rapuh: mudah melawan aturan, kehilangan hormat pada pendidik, dan menjadikan orang tua sebagai tameng untuk mengintimidasi guru.
Jika moral siswa terus tergerus seperti ini, maka impian Indonesia Emas hanyalah slogan kosong. Bagaimana mungkin bangsa ini mencapai kejayaan jika generasi penerusnya tidak lagi menempatkan hormat dan etika sebagai fondasi kehidupan?
Alarm Keras untuk Dunia Pendidikan
Kasus Rini harus menjadi alarm keras. Bila guru dibiarkan kehilangan wibawa, sekolah akan berubah menjadi arena chaos, di mana siswa merasa lebih berkuasa daripada pendidiknya. Pendidikan karakter akan lumpuh, disiplin jadi omong kosong, dan guru hanya akan menjadi “figur lemah” di hadapan anak-anak yang mestinya ia bentuk.
Seorang guru yang dianiaya siswinya adalah tragedi moral bagi dunia pendidikan. Jika negara, sekolah, dan masyarakat tidak segera berpihak pada perlindungan martabat guru, maka jangan heran bila generasi yang lahir adalah generasi tanpa hormat, tanpa etika, dan jauh dari cita-cita Indonesia Emas.