Oleh: Tim Investigasi I 11 Juli 2025
Bajawa – Belum reda perhatian publik terhadap kasus hukum yang menyeret pucuk pimpinan Polres Ngada, kini muncul sorotan baru terkait dugaan pelanggaran prosedural oleh Polres Ngada yang menimpa Karolina Lede yang dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Namun kasus ini justru menyingkap dugaan pelanggaran prosedur—di antaranya Surat Perintah Penyelidikan yang terbit sebelum laporan dibuat, dokumen dengan tanda tangan yang tidak pernah ditandatangani, hingga laporan di SPKT yang ditolak tanpa alasan jelas.
Publik mempertanyakan apakah proses ini dijalankan murni berdasarkan hukum, atau ada faktor non-prosedural yang memengaruhi di balik prosesnya? Kini, Polres Ngada kembali disorot. Dan publik berhak tahu.
Saatnya Menguji Penyelidikan: Sprin-Dik Terbit Sebelum Laporan Polisi
Kasus yang menimpa Karolina Lede menyita perhatian publik dan menempatkan Polres Ngada dalam sorotan kritis. Di tengah tuntutan masyarakat akan proses hukum yang profesional dan akuntabel, muncul pertanyaan serius mengenai tata urutan administrasi dalam proses penyelidikan yang terekam dalam dokumen resmi penanganan perkara ini.
Dalam Surat Panggilan Tersangka Ke-1 yang dikeluarkan oleh Polres Ngada, tercantum bahwa:
- Surat Perintah Penyelidikan (Sprin-Dik/60/III/2025/Reskrim) diterbitkan pada 3 Februari 2025,
- Sementara itu, Laporan Polisi (LP/B/27/II/2025/SPKT/Polres Ngada/Polda NTT) baru dibuat pada 4 Februari 2025.
Urutan waktu ini menimbulkan keraguan karena menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, ditegaskan bahwa:
“Penyelidikan dilakukan berdasarkan laporan dan atau pengaduan dan surat perintah penyelidikan
sedangkan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 berbunyi:
“Dalam hal terdapat informasi mengenai adanya dugaan tindak pidana, dibuat laporan informasi dan dapat dilakukan penyelidikan sebelum adanya laporan dan/atau pengaduan dengan dilengkapi surat perintah”
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara logis dan hukum, Sprindik seharusnya diterbitkan berdasarkan dokumen pendahulu yang sah, yakni Laporan Polisi, Laporan Pengaduan, atau Laporan Informasi (LI) yang terdokumentasi secara resmi.
Pada titik ini, Polres Ngada perlu memberikan klarifikasi dan informasi terbuka mengenai apa yang menjadi dasar penerbitan Sprindik sebelum Laporan Polisi dibuat. Jika dasar tersebut adalah Laporan Informasi (LI), maka muncul pertanyaan lanjutan: dari mana asal informasi itu? Apakah bersumber dari laporan pimpinan, unit intelijen, pemantauan siber, atau pihak ketiga lainnya? Jika benar, Laporan Informasi yang dijadikan dasar maka pertanyaan mendasar yang kini mengemuka adalah: seberapa serius, penting, atau mendesakkah perkara yang dituduhkan kepada Karolina Lede, sehingga Polres Ngada merasa perlu menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan bahkan sebelum adanya laporan resmi dari pelapor?
Publik menunggu kejelasan informasi agar tidak salah paham dan melenceng.
KL Pertanyakan Keaslian Tanda Tangan: Benarkah Ada Ketidaksesuaian?
KL menyatakan bahwa dalam berkas perkara yang telah P21, terdapat surat panggilan yang mencantumkan tanda tangannya—padahal ia tidak pernah merasa menandatangani surat tersebut. Jika terbukti, ini merupakan pelanggaran serius terhadap:
- Pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan surat,
- Pasal 55 dan 56 KUHP, jika dilakukan secara bersama-sama atau dengan bantuan pihak lain,
- UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 35, jika pemalsuan dilakukan secara digital.
Pemalsuan dokumen dalam proses hukum mencederai integritas peradilan dan membuka ruang pidana terhadap pelaku serta pembatalan seluruh proses yang menyertakan dokumen tersebut.
Dua Laporan yang Ditolak SPKT: Penolakan yang Bertentangan Hukum
Peristiwa yang dialami Karolina Lede (KL) di SPKT Polres Ngada menimbulkan keprihatinan publik. KL bermaksud melaporkan dua hal:
- Dugaan pelanggaran prosedur karena Sprindik terbit sebelum Laporan Polisi,
- Dugaan pemalsuan tanda tangan dalam surat panggilan tersangka.
Namun, laporan tersebut ditolak. Dalam video yang beredar (Link), tampak sekitar 10 personel polisi berhadapan dengan KL, ada yang duduk sambil main HP, ada yang merokok, ada yang mengenakan celana jeans terobek, dan memperhatikan langsung ke arahnya. KL merasa tidak nyaman, tertekan secara psikologis, dan tidak memperoleh ruang pelaporan yang netral dan humanis.
Padahal, SPKT sebagai unit pelayanan publik Polri, secara hukum terikat pada:
- UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik:
Pasal 3 dan 5 mewajibkan pelayanan yang adil, ramah, dan profesional. - UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri:
Pasal 13 menegaskan tugas Polri melindungi dan melayani masyarakat. - Perkap No. 1 Tahun 2019:
Pelayanan Polri harus bersifat terbuka, netral, dan tidak mengintimidasi. - Perkap No. 14 Tahun 2011 (Kode Etik Polri):
Anggota wajib menjaga sikap dan penampilan saat melayani masyarakat.
Penolakan laporan tanpa penjelasan memadai, disertai atmosfer pelayanan yang kurang profesional, memunculkan pertanyaan publik akan komitmen pelayanan yang setara. Klarifikasi resmi dari pihak berwenang menjadi penting untuk menjaga kepercayaan dan integritas proses hukum.
Dugaan Ketidakpahaman Petugas dan Hak Konstitusional yang Diabaikan
Ketika KL mempertanyakan:
“Masa saya buat pengaduan terkait ketidakpuasan saya malah tidak diterima?”
Salah satu petugas menjawab:
“Semua ada prosedurnya, bukan ikut ibu punya mau.”
Pernyataan ini menimbulkan kesan tidak akomodatif dan mengundang pertanyaan terkait pemahaman petugas terhadap hak warga untuk mengadu. Berdasarkan:
- Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri,
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
…setiap warga berhak membuat laporan dan mendapatkan layanan pengaduan tanpa diskriminasi.
Kasus Karolina Lede: Saat Prosedur Dipertanyakan, Integritas Hukum Diuji
Kasus Karolina Lede membuka ruang perenungan tajam tentang bagaimana prosedur hukum dijalankan di tingkat lokal—dan apakah praktik itu masih selaras dengan semangat konstitusi dan keadilan.
Ketika Surat Perintah Penyelidikan diterbitkan lebih dulu daripada Laporan Polisi, ketika muncul pertanyaan mengenai keabsahan tanda tangan dalam surat panggilan, dan ketika upaya pelaporan justru dihadapkan dengan suasana yang tidak kondusif secara psikologis, maka saat itulah publik layak bertanya: masihkah hukum ditegakkan secara objektif dan berimbang?
Jika ruang formal tertutup, maka kesadaran publik harus dibuka. Sebab keadilan tidak hanya hidup di dalam berkas perkara—tetapi juga di dalam suara publik yang mengingatkan bahwa hukum harus melayani, bukan membungkam.