Oleh: Tim Investigasi | 9 Juli 2025
Nasional – Polisi, sebagai aparat penegak hukum dan garda depan perlindungan masyarakat, selama bertahun-tahun menempati posisi strategis dalam sistem keamanan nasional. Namun dalam beberapa tahun terakhir, posisi itu perlahan goyah. Bukan karena ancaman dari luar, tetapi oleh erosi kepercayaan publik yang datang dari dalam—yakni oleh kekecewaan yang terus menumpuk, harapan yang berulang kali diabaikan, dan luka kolektif yang tak kunjung diobati.
Tim Investigasi kami menelusuri bagaimana kredibilitas Polri sebagai institusi negara yang seharusnya mengayomi dan melindungi, justru tergerus oleh serangkaian kegagalan sistemik dalam merespons kebutuhan dan keadilan warga. Dari penelusuran terhadap data survei, testimoni masyarakat, serta dokumentasi kasus selama dua tahun terakhir, tergambar jelas bahwa krisis ini telah menembus batas persepsi—ia telah menjadi kenyataan sosial yang membekas di benak publik.
Fenomena Digital: “#PercumaLaporPolisi” Bukan Lagi Lelucon
Jika dahulu kekecewaan terhadap aparat kepolisian hanya dibicarakan dalam bisik-bisik, kini publik menyuarakannya terbuka. Media sosial dipenuhi dengan cerita-cerita warga yang merasa dikecewakan saat mencari keadilan. Tagar #PercumaLaporPolisi menjadi simbol dari akumulasi ketidakpercayaan tersebut. Ia tidak lagi hanya mewakili satu dua kasus individu, tetapi telah menjelma menjadi narasi kolektif, lintas kelas sosial, daerah, dan usia.
Fenomena ini bukan hanya persoalan persepsi negatif, melainkan gejala kegagalan struktural yang tak bisa lagi ditutupi dengan kampanye citra atau slogan motivasional. Ketika masyarakat merasa lebih aman menyuarakan keluhannya di media sosial daripada mendatangi kantor polisi, maka telah terjadi pembalikan fungsi yang sangat berbahaya: institusi yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi tempat yang dihindari.
Data Survei: Cermin Kepercayaan yang Retak
Berbagai survei nasional dalam dua tahun terakhir menunjukkan pola konsisten: kepercayaan publik terhadap Polri berada dalam posisi mengkhawatirkan. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap 1.214 responden, sebanyak 50,3 persen menjawab bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri bermasalah dan tidak transparan.
Dalam survei internasional oleh Ipsos Global Trustworthiness Index 2024, kepolisian Indonesia tercatat sebagai salah satu profesi yang paling tidak dipercaya publik, hanya sedikit di atas politisi. Ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan yang dialami Polri tidak bersifat lokal atau sementara, tetapi bersifat dalam dan struktural.
Oknum: Sebuah Tameng yang Terlalu Sering Digunakan
Setiap kali skandal baru melibatkan aparat, narasi yang disampaikan ke publik cenderung berulang: “Itu ulah oknum.” Kata ini menjadi pelindung yang digunakan untuk mencegah tanggung jawab institusional. Namun dalam kenyataannya, jumlah kasus yang terus berulang dengan pola yang serupa—dari pemerasan, kekerasan berlebihan, pelecehan seksual, hingga keterlibatan dalam jaringan kriminal—menunjukkan bahwa masalah ini bukan lagi soal personal semata, melainkan masalah sistemik.
Ketika kata “oknum” digunakan terlalu sering, ia kehilangan makna. Masyarakat semakin sulit percaya bahwa kesalahan-kesalahan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir orang. Terlebih ketika penanganan terhadap para pelaku justru dilakukan tertutup, lambat, dan sering kali tidak menimbulkan efek jera. Ini menimbulkan kesan bahwa sistem internal kepolisian tidak hanya gagal mengawasi, tetapi juga cenderung melindungi pelanggar daripada menegakkan keadilan.
Stabilitas Sosial yang Terancam
Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada aparat, maka mereka akan mencari jalur lain untuk menyelesaikan konflik atau memperjuangkan keadilan. Ini bisa berupa aksi massa, peradilan jalanan, atau bahkan keterlibatan dalam kelompok-kelompok informal yang menawarkan rasa aman semu. Semua ini menunjukkan gejala pelemahan negara hukum yang sesungguhnya.
Lebih jauh, krisis kepercayaan terhadap polisi juga menciptakan kecemasan kolektif, di mana warga merasa tidak aman bukan karena kejahatan, tetapi karena tidak tahu kepada siapa mereka bisa percaya ketika kejahatan terjadi. Ini adalah bentuk krisis otoritas, di mana negara gagal meyakinkan warganya bahwa hukum berpihak pada mereka.
Reformasi yang Tak Bisa Lagi Ditunda
Kondisi ini tidak bisa diperbaiki dengan penambahan slogan atau pernyataan permintaan maaf belaka. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh di tubuh kepolisian—mulai dari proses rekrutmen, pendidikan etik, transparansi penegakan hukum internal, hingga penguatan pengawasan independen. Tanpa perombakan struktural yang serius, upaya pemulihan kepercayaan hanya akan menjadi ilusi.
Penutup: Keadilan Tidak Bisa Hidup Tanpa Kepercayaan
Kepolisian bukan hanya instrumen hukum, tetapi representasi negara dalam kehidupan sehari-hari warga. Jika figur polisi tidak lagi dihormati, bukan karena rakyat kehilangan rasa hormat, tetapi karena mereka terlalu sering dikecewakan.
Kepercayaan adalah mata uang utama dalam relasi negara dan warganya. Ketika kepercayaan itu hilang, maka tak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk merasa terikat oleh hukum—dan dari situlah kekacauan dimulai.