Oleh: Tim Investigasi | 22 Juni 2025
Nasional – Ribuan orang turun ke jalan, mengangkat poster bertuliskan “Free Palestine”, menyerukan kemerdekaan, keadilan, dan hak asasi manusia. Sorakan membahana di pusat-pusat kota Pulau Jawa. Namun di belahan timur Indonesia, di tanah yang masih bernama Papua, suara-suara yang meminta keadilan justru menghilang dalam kesunyian nasional.
Indonesia tampak begitu lantang bersolidaritas dengan Palestina. Tapi ketika darah tumpah dan hak dirampas di tanah sendiri, solidaritas itu perlahan berubah menjadi bisu.
Ironi Solidaritas: Ramai di Luar, Sepi di Dalam
Mengapa ribuan orang rela berpanas-panasan membela Palestina, namun seolah tak tergugah oleh derita Papua? Padahal keduanya sama-sama berbicara tentang hak hidup, kemerdekaan identitas, dan keadilan?
Jawabannya tidak sesederhana rasa kemanusiaan. Solidaritas kita, ternyata, tidak lepas dari bingkai agama, kedekatan ideologis, dan narasi yang dibentuk oleh media. Palestina diasosiasikan sebagai bagian dari perjuangan Islam global, sedangkan Papua terus-menerus dikurung dalam bingkai “keamanan nasional” dan “persatuan negara”.
Papua tak pernah dibayangkan sebagai korban. Ia selalu dicurigai sebagai ancaman.
Papua: Kaya SDA, Miskin Empati
Papua memiliki cadangan emas, tembaga, dan gas yang menopang perekonomian nasional. Namun di balik kekayaan itu, wilayah ini menyimpan luka lama: kemiskinan, keterbelakangan, dan pelanggaran HAM.
Data pemerintah sendiri menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua hampir tiga kali lipat dari rata-rata nasional. Infrastruktur pendidikan, layanan kesehatan, dan konektivitas digital masih sangat tertinggal. Tapi lebih dari sekadar angka, yang lebih menyakitkan adalah sikap publik yang membungkam suara mereka.
Kita marah saat anak-anak Gaza terbunuh. Tapi kita diam ketika anak-anak Papua harus berjalan puluhan kilometer untuk sekolah. Kita menangis untuk Palestina. Tapi tak pernah benar-benar menengok timur kita sendiri.
Media dan Narasi: Siapa yang Layak Dibelasungkawai?
Dalam jagat media nasional, Papua jarang hadir sebagai subjek kemanusiaan. Ia lebih sering tampil sebagai “masalah”. Konflik di Papua disiarkan tanpa wajah, tanpa cerita personal, dan tanpa empati. Media membentuk jarak emosional antara publik Indonesia dan Papua.
Sebaliknya, Palestina tampil dengan wajah anak-anak, perempuan menangis, dan reruntuhan yang menyayat hati. Palestina adalah kemanusiaan. Papua adalah gangguan.
Narasi seperti ini tidak lahir begitu saja. Ia dibentuk, dipelihara, dan diwariskan oleh sistem informasi yang lebih peduli pada kenyamanan mayoritas daripada penderitaan minoritas.
Ketika Identitas Membatasi Empati
Papua tidak masuk dalam identitas mayoritas. Agamanya berbeda, rasnya berbeda, bahasanya pun berbeda. Di ruang-ruang publik, identitas yang berbeda ini tidak mendekatkan, justru menjauhkan.
Kita tidak melihat Papua sebagai “kita”, melainkan sebagai “mereka”. Maka ketika Papua berteriak minta tolong, kita tak merasa terdorong untuk mendengarkan.
Empati kita, rupanya, punya syarat. Ia hidup ketika yang menderita adalah bagian dari narasi besar kita, dan mati ketika yang tertindas adalah bagian yang kita anggap asing.
Refleksi: Siapa yang Kita Bela, dan Mengapa?
Bukan salah membela Palestina. Yang salah adalah ketika solidaritas itu hanya menjadi simbolisme, selektif, dan tidak menyentuh inti persoalan keadilan.
Papua tidak membutuhkan belas kasihan. Papua butuh pengakuan. Bahwa luka mereka juga nyata. Bahwa ketidakadilan yang mereka alami juga penting. Bahwa perjuangan mereka untuk hidup layak juga pantas disuarakan.
Penutup: Saatnya Memandang ke Dalam
Bangsa ini perlu bercermin. Solidaritas yang sejati tidak berhenti di perbatasan negara, dan tidak tunduk pada kesamaan identitas. Jika kita benar-benar peduli pada keadilan, maka suara kita seharusnya menggema bukan hanya untuk Gaza, tapi juga untuk Wamena. Bukan hanya untuk Al-Aqsa, tapi juga untuk Nduga.
Selama kita memilih siapa yang layak ditolong berdasarkan agama, warna kulit, atau persepsi politik, maka solidaritas kita hanyalah topeng. Dan di balik topeng itu, ada wajah bangsa yang belum selesai mencintai rumahnya sendiri.