Boikot Alfamart oleh Pesantren di Ciamis — Solidaritas Agama atau Simbolisme yang Tersesat?

Share

Ciamis, Jawa Barat – Sebuah gerai minimarket Alfamart di Kecamatan Rajadesa, Ciamis, menjadi sasaran aksi penyegelan oleh sekelompok santri, ulama, dan pengurus keagamaan. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Boikot Produk Israel”, mengibarkan semangat solidaritas terhadap Palestina, dan menempelkan stiker bertuliskan “Disegel”. Dalam aksinya, mereka mengenakan pakaian keagamaan dan menggunakan bahasa agama yang menggetarkan. Tapi, di tengah gegap gempita spiritualitas itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah ini ekspresi iman atau justru penggiringan opini yang berselubung kekuasaan moral?

Agama: Simbol Kesalehan atau Alat Tekanan Massa?

Penggunaan jubah, serban, dan peci, serta lantunan kalimat-kalimat agama dalam aksi boikot ini bukan sekadar ekspresi keimanan. Ia berfungsi sebagai simbol legitimasi: seolah yang mereka lakukan otomatis benar karena dibungkus dengan simbol sakral. Bahasa agama diulang-ulang, bukan untuk menenangkan, tapi untuk menguatkan tekanan moral di ruang publik.

Ketika seseorang berdiri di depan toko dengan mikrofon dan menyerukan penyegelan atas nama Tuhan, maka muncul relasi kuasa yang tidak seimbang. Tindakan tersebut tidak lagi tampil sebagai ajakan spiritual, tetapi berubah menjadi instrumen tekanan sosial, bahkan intimidasi simbolik terhadap pihak yang tak sepakat.

Yang membingungkan publik bukanlah semangat membela Palestina, tapi cara-cara yang menyerupai gaya premanisme—bedanya, kali ini bukan dengan jaket ormas atau senjata tumpul, tetapi dengan jubah agama dan suara pengeras. Mereka tidak hanya membawa pesan, tapi membungkusnya dengan aura “kebenaran tunggal”, menutup ruang diskusi dan membentengi diri dari kritik dengan tameng sakralitas.

Fatwa Disulap Jadi Senjata Jalanan

Fatwa MUI yang menjadi rujukan aksi ini sebetulnya bersifat moral, bukan hukum positif. Tapi di tangan kelompok tertentu, fatwa berubah fungsi menjadi semacam “mandat aksi langsung”, seolah memberi wewenang untuk melakukan tindakan di luar kerangka hukum. Penyegelan toko swasta tanpa proses hukum menjadi semacam “eksekusi moral” di ruang publik, dan ironisnya, dilaksanakan oleh lembaga pendidikan agama.

Apa yang terjadi adalah penyalahgunaan tafsir keagamaan untuk tindakan sepihak yang dapat merusak tatanan sosial. Ia bukan lagi bentuk kesalehan, melainkan konversi moralitas menjadi tekanan. Agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian, tetapi berubah menjadi instrumen mobilisasi emosi dan amarah.

Solidaritas yang Kehilangan Nalar

Membela Palestina adalah panggilan nurani kemanusiaan. Namun ketika upaya itu dilakukan dengan metode yang emosional, tanpa data, tanpa pemahaman sistem, dan tanpa strategi edukatif, maka gerakan tersebut kehilangan kekuatannya. Ia menjadi simbolik dan teatrikal—sebuah perayaan perasaan yang tidak menjawab persoalan nyata.

Lebih dari itu, aksi ini menunjukkan bagaimana simbol-simbol agama bisa digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban logis. Kritik terhadap aksi penyegelan seperti ini sering dibungkam dengan tuduhan anti-Islam atau anti-Palestina. Tidak ada ruang untuk bertanya: apakah benar toko itu menjual produk terafiliasi Israel? Apakah boikot tersebut berdampak? Apakah ada cara lain yang lebih cerdas dan elegan?

Refleksi Penutup: Antara Serban dan Premanisme Simbolik

Apa yang terjadi di Ciamis adalah gambaran suram tentang bagaimana agama bisa dipakai sebagai jubah pembenar untuk tindakan yang menakut-nakuti. Ketika spanduk digenggam bersamaan dengan stiker penyegelan, ketika mikrofon digunakan bukan untuk berdakwah tetapi untuk mengultimatum, maka yang terjadi bukanlah dakwah, melainkan tekanan sosial yang menyerupai premanisme. Bedanya, kini ia dibungkus dengan lirik doa dan pakaian kesalehan.

Masyarakat perlu membedakan antara keberpihakan dan kegaduhan. Antara kepedulian yang tercerahkan dan kemarahan yang tak terkontrol. Di era keterbukaan ini, agama seharusnya menjadi cahaya yang membimbing nalar, bukan senjata yang menindasnya. Jika boikot dijalankan dengan cara membungkam, maka yang sedang diperjuangkan bukanlah keadilan, melainkan ketakutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *