Oleh: Tim Investigasi | 17 Juni 2025
Sumba – Senin siang, 16 Juni 2025, seorang pegawai honorer menikam pejabat Dinas Pendidikan di Sumba. Peristiwa ini bukan sekadar ledakan emosi sesaat. Ia adalah letupan dari sistem yang lama sakit—dan dibiarkan membusuk dalam sunyi. Seorang tenaga pendidikan non-PNS yang selama enam bulan tidak dibayar, dituntut menyelesaikan laporan kompleks dana BOS, akhirnya memilih jalur brutal sebagai bentuk perlawanan yang tragis.
Enam Bulan Tanpa Upah, Tapi Tetap Harus “Loyal”
Investigasi kami menemukan bahwa pelaku, seorang operator sekolah, telah bekerja tanpa menerima sepeser pun honor selama enam bulan. Dalam struktur pendidikan yang kerap menjanjikan dedikasi, tak ada kepastian kapan hak dasar mereka dibayarkan. Ironisnya, mereka tetap diminta mengurus laporan-laporan penting, tanpa pelatihan, tanpa dukungan teknis, dan kerap menjadi sasaran koreksi dari atasan.
Seorang mantan operator dari wilayah lain bersaksi, “Kami dianggap pelengkap, tapi semua urusan teknis dibebankan ke kami. Ketika terjadi kesalahan, kami yang pertama disalahkan. Tapi soal hak? Tidak jelas.”
Honorer: Mesin Tak Bernama dalam Rantai Pendidikan
Tenaga honorer seperti pelaku menjadi bagian dari wajah tersembunyi sistem pendidikan Indonesia, terutama di daerah 3T seperti Sumba. Mereka memikul beban kerja struktural, tetapi secara formal tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat. Mereka ada, tapi sering tak diakui. Mereka bekerja, tapi tak dibayar. Dan ketika meledak, sistem justru mencuci tangan.
Kepala sekolah, bendahara, dan bahkan pejabat dinas kerap saling lempar tanggung jawab. Honor bisa tertahan karena mekanisme administrasi yang ruwet, keterlambatan transfer pusat, atau sekadar kelalaian.
Mengapa Kita Diam?
Kekerasan fisik memang tak bisa dibenarkan. Tapi jika kekerasan struktural terus-menerus dibiarkan, mungkinkah ini menjadi awal dari lebih banyak tragedi?
Di kantor-kantor pendidikan seluruh pelosok negeri, bisa jadi ada ratusan bahkan ribuan honorer lain yang tengah menyimpan bara: hidup dari utang, bekerja tanpa kepastian, mengabdi tanpa perlindungan. Mereka tidak bersuara, tapi sistem telah lama menorehkan luka di tubuh dan martabat mereka.
Saatnya Bertanya: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Sistem Ini?
Tragedi di Sumba bukan hanya kasus kriminal. Ia adalah sinyal darurat moral dan refleksi kegagalan kolektif. Apakah kita akan terus membiarkan sistem pendidikan ini berdiri di atas ketidakadilan yang diam-diam?
Karena jika tenaga yang paling rentan sekalipun tidak diperlakukan manusiawi, lalu untuk siapa sebenarnya pendidikan ini dibangun?