Antara Salib (Vatikan) dan Sabit (Iran): Antara Kasih dan Pedang

Share


Internasional – Di tengah dunia yang semakin sekuler, dua negara berbasis agama tetap berdiri kokoh sebagai simbol utama masing-masing keyakinan: Vatikan dan Republik Islam Iran. Keduanya adalah negara teokrasi—diperintah atas dasar hukum dan prinsip agama—namun menampilkan wajah yang sangat kontras dalam diplomasi, retorika publik, dan pendekatan kekuasaan. Mengapa Vatikan dikenal sebagai simbol damai dan kasih, sementara Iran kerap diasosiasikan dengan konflik, intimidasi, bahkan kekerasan?

Dua Teokrasi, Dua Arah

Vatikan, pusat Gereja Katolik Roma, adalah negara terkecil di dunia namun memiliki pengaruh moral dan spiritual yang besar. Di bawah kepemimpinan Paus, Vatikan mempromosikan nilai-nilai cinta kasih, perdamaian, dan dialog lintas agama. Dalam banyak pernyataan resmi, Paus Fransiskus secara konsisten mengangkat isu kemanusiaan, krisis iklim, serta keadilan sosial tanpa narasi permusuhan.

Sebaliknya, Republik Islam Iran didirikan setelah Revolusi 1979 sebagai negara yang menerapkan syariat Islam secara ketat, dipimpin oleh Pemimpin Tertinggi (Wilayat al-Faqih). Dalam politik luar negeri, Iran dikenal dengan sikap konfrontatif, terutama terhadap Barat dan Israel. Retorika yang dipakai pemimpinnya kerap diwarnai oleh seruan jihad, anti-Zionisme, dan semangat revolusioner yang kadang menyerempet pada propaganda kekerasan.

Akar Historis dan Teologis

Perbedaan tajam ini tidak lahir begitu saja. Gereja Katolik telah melewati masa reformasi besar sejak Konsili Vatikan II (1962–1965), yang membuka dialog dengan agama lain dan meninggalkan jejak Kekristenan yang sempat kelam di era Perang Salib dan Inkuisisi. Sebaliknya, Republik Islam Iran masih sangat dipengaruhi oleh memori kolonialisme, dominasi Barat, dan trauma revolusi, yang menciptakan budaya politik yang curiga, agresif, dan defensif.

Retorika dan Media: Antara Doa dan Ancaman

Lihatlah saluran resmi Vatikan—Vatican News, L’Osservatore Romano—yang penuh dengan pesan perdamaian dan refleksi spiritual. Bandingkan dengan kanal-kanal seperti Press TV atau pidato para pejabat Iran yang kerap berisi narasi perlawanan terhadap “musuh Islam” dan ancaman balasan atas sanksi atau serangan.

Ini bukan hanya perbedaan gaya komunikasi, tapi mencerminkan karakter ideologis yang mendasarinya. Sementara Vatikan ingin memengaruhi moral dunia, Iran ingin menantang tatanan global yang dianggap tidak adil.

Militerisasi vs Moralitas

Vatikan tak memiliki tentara kecuali Garda Swiss yang bersifat simbolis, sementara Iran memiliki kekuatan militer yang aktif dan jaringan pengaruh yang tersebar hingga luar negeri. Mereka memiliki IRGC (Korps Garda Revolusi Islam Iran), milisi Syiah di berbagai negara, dan program nuklir yang kontroversial. Pendekatan Vatikan terhadap kekuasaan lebih bersifat simbolik dan moral, sedangkan Iran menggabungkan agama dan militer untuk mempertahankan ideologi negara.

Penutup: Apakah Semua Karena Agama?

Menuding agama sebagai akar kekerasan atau perdamaian tentu terlalu sederhana. Sebab keduanya, baik Kristen maupun Islam, memiliki sejarah panjang yang penuh paradoks. Namun yang membedakan adalah bagaimana pemimpin dan negara tersebut menafsirkan dan menjalankan ajaran agamanya dalam konteks kekuasaan.

Vatikan menjadikan kasih sebagai diplomasi. Iran menjadikan perlawanan sebagai identitas. Dalam dunia modern, keduanya menjadi cermin ekstrem dari bagaimana agama membentuk arah sebuah negara: satu memilih dialog, yang lain memilih konfrontasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *