Oleh: Tim Investigasi | 17 Juni 2025
Internasional – Di tengah ketegangan global yang meningkat akibat konflik militer antara Israel dan Iran, publik Indonesia justru disuguhi tayangan-tayangan televisi yang penuh dengan klaim sepihak, retorika emosional, dan narasi heroik yang tidak sesuai dengan fakta. Para pengamat yang dihadirkan oleh media nasional tampak lebih sibuk membentuk persepsi ketimbang membedah realitas.
Penelusuran tim investigasi kami menemukan bahwa sebagian besar pengamat yang muncul secara rutin bukanlah spesialis kawasan Timur Tengah, bukan pula peneliti strategi militer, apalagi pakar hubungan internasional yang aktif di jurnal akademik. Mereka lebih dikenal karena kemahiran mereka dalam menyampaikan opini yang selaras dengan emosi kolektif masyarakat Indonesia—terutama masyarakat mayoritas yang merasa memiliki kedekatan ideologis dengan Iran.
“Kemenangan Iran”: Narasi Emosional yang Tak Teruji
Dalam berbagai program berita dan talkshow nasional, banyak pengamat memaparkan bahwa Iran berhasil membuat Israel “takluk” melalui rentetan serangan rudal balistik. Mereka mengklaim bahwa keberhasilan Iran menembus pertahanan Israel merupakan bukti kekuatan negara Islam melawan kekuatan Barat.
Namun ketika diperbandingkan dengan laporan-laporan terbuka dari sumber internasional dan analisis independen dari pengamat militer global, tampak bahwa sebagian besar rudal Iran berhasil dicegat oleh sistem pertahanan canggih Israel. Bahkan, dampak militer strategis dari serangan tersebut relatif terbatas.
Yang ironis, serangan balasan dari Israel justru jauh lebih menghancurkan. Sejumlah pusat militer dan fasilitas rahasia di Iran mengalami kerusakan besar, serta dilaporkan jatuhnya korban jiwa dari kalangan elite militer Iran. Namun narasi ini hampir tak muncul dalam pernyataan para pengamat televisi Indonesia.
Saat Opini Publik Mengalahkan Data
Mengapa para pengamat ini justru menyuarakan kemenangan sepihak Iran tanpa data yang valid?
Jawabannya terletak pada keberpihakan identitas. Di tengah dominasi populasi agama mayoritas, sebagian besar pemirsa televisi di Indonesia menunjukkan afeksi emosional terhadap simbol-simbol perlawanan terhadap Israel. Para pengamat tampaknya memahami hal ini, dan memilih memainkan “perasaan kolektif” alih-alih memaparkan fakta geopolitik yang kompleks.
Dengan memanfaatkan posisi mereka sebagai “akademisi” atau “peneliti”, mereka menyajikan analisis pseudo-ilmiah yang lebih merupakan konfirmasi atas apa yang ingin didengar oleh publik, bukan hasil riset objektif.
Media Nasional: Antara Tekanan Rating dan Kenyamanan Ideologi
Investigasi juga menemukan bahwa redaksi media lebih memilih pengamat-pengamat yang mampu menyulut keterlibatan emosional di media sosial. Algoritma popularitas lebih diutamakan daripada kedalaman kajian. Akibatnya, tokoh-tokoh yang menyampaikan suara berbeda—misalnya yang mempertanyakan keakuratan strategi Iran atau dampak balasan Israel—nyaris tidak diberi ruang.
Media menjadi arena validasi identitas ideologis mayoritas, bukan forum diskusi ilmiah lintas perspektif. Dan pengamat-pengamat itu tahu, semakin emosional pernyataan mereka, semakin sering mereka dipanggil kembali ke layar kaca.
Akademisi yang Kehilangan Marwah Intelektual
Apa yang lebih mencemaskan adalah fakta bahwa banyak pengamat tersebut berlatar belakang akademik. Gelar dan institusi tempat mereka mengajar memberikan kesan bahwa apa yang mereka katakan adalah hasil perenungan ilmiah. Padahal, dalam praktiknya, beberapa di antaranya tidak memiliki publikasi relevan, tidak mengikuti forum kajian Timur Tengah internasional, dan tidak mengakses data militer atau diplomatik yang kredibel.
Dengan membiarkan panggung opini dikuasai oleh mereka yang lebih menuruti emosi mayoritas daripada logika analitik, Indonesia berisiko mengalami kemunduran intelektual dalam membentuk opini publik yang sehat.
Konsekuensi: Kaburnya Realitas, Runtuhnya Rasionalitas
Ketika narasi kemenangan palsu terus disebar oleh figur-figur akademis, masyarakat terjebak dalam euforia simbolik dan gagal melihat ancaman nyata dari eskalasi konflik regional. Ini tidak hanya memupus peluang edukasi publik yang kritis, tetapi juga mempermalukan dunia akademik Indonesia di mata internasional.
Negara lain membentuk opini publik melalui data, laporan militer, dan tinjauan strategis dari berbagai sudut. Di Indonesia, opini publik dibentuk oleh perasaan dan dibungkus dengan jargon “keilmuan” dari mereka yang hanya fasih bersilat lidah.
Kesimpulan: Saatnya Media dan Akademisi Bangkit dari Kenyamanan Ilusi
Indonesia membutuhkan pemulihan nalar publik. Media seharusnya memverifikasi, bukan memviralkan. Akademisi seharusnya mencerahkan, bukan menyenangkan. Dan pengamat seharusnya menjelaskan dunia apa adanya, bukan dunia yang diimajinasikan oleh emosi kelompok.
Jika tidak, maka kita akan terus menjadi bangsa yang menang dalam narasi, tapi kalah dalam kenyataan.