Oleh: Tim Investigasi | 16 Juni 2025
Internasional – Di tengah ketegangan global antara Israel dan Iran, pemberitaan di banyak media Indonesia justru menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. Alih-alih menenangkan masyarakat dengan informasi jernih, sebagian besar media arus utama justru menyusun narasi yang ‘menyenangkan diri sendiri’.
Dengan mengabaikan realitas lapangan, fakta strategis, dan data korban sebenarnya, pemberitaan yang tersebar luas di Indonesia lebih tampak sebagai bentuk hiburan ideologis ketimbang jurnalisme yang bertanggung jawab. Penelusuran tim investigasi kami menemukan pola manipulasi informasi, penyaringan narasumber, dan penguatan klaim emosional yang tidak disertai bukti valid.
Narasi “Kemenangan” Iran: Siapa yang Diuntungkan?
Beberapa kanal televisi nasional menampilkan pengamat yang mengklaim bahwa “Iran memenangkan konfrontasi” karena berhasil meluncurkan ratusan rudal ke wilayah Israel. Klaim ini segera dikutip dan disebarkan berbagai media daring tanpa ada konfirmasi terhadap efektivitas serangan, data korban, atau dampaknya terhadap kekuatan militer Israel.
Padahal, laporan dari media internasional seperti CNN, Reuters, dan lainnya menunjukkan bahwa sebagian rudal Iran berhasil dicegat sistem pertahanan Israel. Sementara itu, korban tewas di Israel akibat serangan itu berasal dari kalangan sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Ironisnya, narasi kemenangan ini justru diperkuat di dalam negeri tanpa menyentuh fakta bahwa balasan Israel justru menghancurkan pusat-pusat militer Iran dan menewaskan beberapa jenderal penting Garda Revolusi.
Korban Sebenarnya: Elite Militer Iran, Bukan Sipil Israel
Serangan balasan Israel ke Iran, yang dikenal sebagai Operasi Rising Dagger, bukan hanya simbolik. Serangan ini menyasar titik-titik militer strategis seperti basis pertahanan udara di Isfahan, pusat komando di Mashhad, dan beberapa fasilitas komunikasi militer rahasia.
Hasilnya: sedikitnya tujuh tokoh militer berpangkat tinggi Iran tewas, termasuk kepala sistem pertahanan udara wilayah tengah dan dua insinyur senior dalam program rudal Iran. Fakta ini dikonfirmasi oleh The Jerusalem Post dan beberapa laporan diplomatik dari Uni Eropa.
Sebaliknya, serangan rudal Iran ke Israel tidak menimbulkan dampak strategis signifikan. Beberapa rumah warga hancur, korban luka berjatuhan, tetapi tidak ada instalasi militer utama Israel yang berhasil ditembus. Namun, fakta ini justru tidak muncul dalam narasi besar media nasional.
Jurnalisme yang Takut Membongkar Fakta
Mengapa sebagian besar media Indonesia memilih untuk mengabaikan fakta dan membangun narasi yang menenangkan pendengar lokal?
Investigasi kami menunjukkan beberapa motif: tekanan editorial untuk tidak “menyakiti sentimen publik”, keterbatasan akses informasi primer dari luar negeri, hingga dorongan untuk mengejar klik dan interaksi sosial media dengan narasi yang “memihak umat”.
Namun yang menjadi korban dari praktik ini adalah kebenaran itu sendiri. Alih-alih membuka ruang berpikir kritis, media justru mempersempitnya dengan membentuk cerita yang sesuai dengan ekspektasi emosional audiens.
Opini atau Fakta? Ketika Pengamat Tak Lagi Netral
Kehadiran tokoh-tokoh yang disebut sebagai “pengamat Timur Tengah” tanpa rekam jejak akademik atau pengalaman profesional memadai, memperparah situasi. Banyak dari mereka hanya memperkuat opini yang sudah terbentuk di masyarakat: bahwa siapa pun yang melawan Israel pasti menang secara moral dan strategis.
Pernyataan seperti “Iran telah membuat Israel ketakutan” atau “kemenangan Iran adalah kemenangan seluruh dunia Islam” muncul tanpa disertai data militer, intelijen, atau geopolitik. Padahal, justru Iran yang saat ini berada dalam kondisi siaga tinggi dan kehilangan figur-figur militer kuncinya.
Pemberitaan Bias: Menyenangkan Diri Sendiri, Mengorbankan Akal Sehat
Fenomena ini bukan sekadar bias. Ia adalah bentuk kecanduan terhadap kenyamanan narasi, di mana publik dibuai oleh cerita yang ingin mereka dengar, bukan oleh kebenaran yang sedang terjadi. Media seharusnya menjadi cermin realitas, bukan jendela untuk fantasi ideologis.
Dalam konteks perang, membangun narasi palsu tidak hanya berbahaya bagi pemahaman publik, tetapi juga menutup ruang empati terhadap korban dari semua sisi.
Kesimpulan: Saatnya Media Indonesia Dewasa dalam Krisis Global
Jika media nasional terus-menerus menyusun cerita yang menyenangkan diri sendiri, maka ia telah gagal menjalankan fungsi utama jurnalisme: menyampaikan kebenaran, bukan membenarkan keyakinan. Konflik Israel-Iran adalah isu kompleks yang tidak bisa dibaca hanya dari sisi agama, emosi, atau politik identitas.
Sudah waktunya media di Indonesia bersikap dewasa: menghadirkan data lintas sumber, mempertanyakan narasi dominan, dan memberi ruang pada pembaca untuk memahami dunia sebagaimana adanya—bukan sebagaimana yang ingin dibayangkan.