Oleh: Tim Investigasi | 11 Juni 2025
Internasional – Dalam setiap eskalasi konflik bersenjata di Gaza, mayoritas televisi nasional di Indonesia konsisten menampilkan pemberitaan yang mengutuk keras tindakan militer Israel. Tayangan penuh emosi, sorotan terhadap korban sipil, dan narasi genosida menjadi warna dominan dalam laporan-laporan tersebut. Namun, di sisi lain, sangat minim terdengar kecaman terhadap taktik militer Hamas yang diduga menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa media televisi nasional cenderung menyampaikan pemberitaan satu sisi? Apakah ini murni bentuk empati kemanusiaan, atau ada pola yang lebih dalam terkait konstruksi informasi dan kepentingan tertentu?
Dominasi Narasi Emosional dan Pilihan Redaksional
Pantauan terhadap sejumlah siaran berita menunjukkan pola yang konsisten: penderitaan warga Palestina ditampilkan secara masif, dengan visual dramatis, penggambaran korban anak-anak, dan narasi penderitaan. Di sisi lain, pemberitaan hampir sepenuhnya mengabaikan taktik militer Hamas yang dilaporkan kerap beroperasi di area padat penduduk, bahkan di dekat sekolah dan rumah sakit.
Tidak ditemukan laporan yang mencoba menelaah secara kritis strategi militer kelompok tersebut atau bagaimana hal itu memperburuk risiko terhadap warga sipil. Sebagian besar media memilih pendekatan naratif yang memisahkan antara “penjajah” dan “yang dijajah,” tanpa memasukkan kompleksitas strategi militer yang digunakan oleh kedua belah pihak.
Kecenderungan Ideologis dan Sensitivitas Publik
Ada indikasi kuat bahwa konstruksi pemberitaan ini dipengaruhi oleh sensitivitas sosial-politik yang tinggi. Mengangkat sisi kontroversial dari pihak Palestina—meskipun berbasis fakta—dipandang berisiko menimbulkan penolakan dari publik luas yang memiliki afiliasi emosional dengan perjuangan rakyat Palestina.
Sebagian pengelola media tampaknya mengambil keputusan redaksional yang aman dengan menekankan sisi kemanusiaan yang sesuai dengan simpati mayoritas pemirsa. Dampaknya, pemberitaan menjadi kurang proporsional dan kehilangan fungsi kritis.
Ketergantungan Sumber dan Minimnya Verifikasi Lapangan
Sebagian besar media televisi di Indonesia tidak memiliki akses langsung ke medan konflik dan sangat bergantung pada sumber-sumber luar, terutama dari wilayah atau media dengan sikap berpihak tertentu. Narasi yang diperoleh dari sumber semacam ini umumnya telah mengalami penyuntingan atau framing sesuai sudut pandang asal.
Ketiadaan verifikasi silang dan sumber independen menyebabkan informasi yang disampaikan menjadi tidak seimbang. Ketiadaan akses juga membuat sebagian besar media lebih memilih untuk menyiarkan ulang cuplikan-cuplikan video yang emosional ketimbang melakukan pelaporan investigatif yang lebih mendalam dan berimbang.
Risiko Polarisasi dan Penyederhanaan Konflik
Dengan narasi yang sangat mengutuk satu pihak dan membungkam sisi lain, media berpotensi mendorong penyederhanaan konflik menjadi sekadar soal “hitam-putih.” Padahal, konflik Gaza memiliki dimensi geopolitik, militer, kemanusiaan, dan ideologis yang kompleks. Mengabaikan fakta-fakta strategis dari semua pihak justru berisiko menurunkan kualitas informasi yang diterima publik.
Situasi ini juga dapat membentuk opini publik yang kurang kritis, karena hanya disuguhi satu versi kebenaran, sementara dimensi lain dari konflik tetap tersembunyi. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat terciptanya pemahaman yang mendalam dan seimbang tentang situasi global yang sebenarnya.
Kesimpulan: Empati Harus Berdampingan dengan Objektivitas
Media memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran publik, terutama dalam isu kemanusiaan seperti konflik di Gaza. Namun, ketika pemberitaan cenderung hanya menonjolkan satu sisi dan mengabaikan dimensi lain yang juga relevan, maka integritas jurnalistik dipertaruhkan.
Empati pada korban sipil tidak boleh menutup mata terhadap strategi militer dari semua pihak yang memperparah penderitaan. Penyajian informasi yang seimbang, faktual, dan tidak terjebak dalam narasi politis sepihak adalah fondasi penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap media.