Terkuaknya Kejahatan di Ruang Kelas: Kasus Pencabulan 24 Siswa oleh Oknum Guru di Sabu Raijua

Share

Oleh: Tim Investigasi | 3 Juni 2025

Sabu Raijua, NTT – Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang oleh kasus kejahatan seksual yang melibatkan seorang pendidik. Benyamin Edison Koro Dimu (60), oknum guru SD Negeri di Desa Ramedue, Kecamatan Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah ditetapkan sebagai tersangka pencabulan terhadap 24 murid kelas 6, terdiri dari 10 laki-laki dan 14 perempuan.

Kasus ini menyita perhatian publik karena bukan hanya menyangkut jumlah korban yang besar, tapi juga karena kejahatan itu terjadi di dalam kelas, saat proses belajar mengajar berlangsung.

Kronologi Pengungkapan: Kejahatan yang Terjadi di Depan Papan Tulis

Wakapolres Sabu Raijua Kompol Libartino Silaban dan Kasat Reskrim Iptu Defri Wee menjelaskan dalam konferensi pers (30 Mei 2025) bahwa tersangka melakukan pelecehan berulang terhadap siswa-siswinya, bahkan memaksa mereka menyaksikan video porno dan memperagakan gestur tidak senonoh di hadapan mereka.

“Dari hasil penyelidikan dan gelar perkara, tersangka kami tetapkan berdasarkan dua alat bukti yang sah,” ujar Kompol Libartino.

Penyidikan menemukan bahwa tindakan ini telah terjadi sejak para korban naik ke kelas 6. Tersangka memanfaatkan posisinya sebagai guru dan ASN untuk melakukan tekanan terhadap siswa.

Pasal Pemberatan dan Ancaman Hukuman

Berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016, tersangka dijerat dengan Pasal 82 dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Namun, karena perbuatannya dilakukan oleh seorang pendidik terhadap lebih dari satu anak, maka dikenakan pemberatan hukuman sepertiga dari ancaman maksimal, sehingga ia terancam 20 tahun penjara.

Polisi juga telah memeriksa 33 saksi, termasuk saksi ahli, dan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan keamanan dan perlindungan psikologis bagi para korban.

Luka Lama yang Kembali Terbuka: Pola Kekerasan Seksual oleh Oknum Guru

Kasus di Sabu Raijua bukan yang pertama. Indonesia telah beberapa kali dikejutkan oleh kasus serupa:

  • 2022, Bandung: Seorang guru pesantren di Bandung mencabuli lebih dari 13 santriwati selama bertahun-tahun.
  • 2021, Jakarta: Oknum guru di salah satu sekolah swasta mencabuli murid TK dan SD.
  • 2014, Jakarta International School (JIS): Kasus pelecehan terhadap siswa oleh staf sekolah yang sempat menjadi sorotan internasional.

Pola-pola ini menunjukkan bahwa kejahatan seksual oleh tenaga pendidik bukan kasus terisolasi, melainkan gejala sistemik akibat lemahnya pengawasan, ketiadaan pelatihan etika profesi, serta minimnya saluran aduan yang aman bagi anak.

Gagalnya Sistem Proteksi Anak di Sekolah

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh kembang anak justru bisa berubah menjadi tempat berbahaya jika negara lalai. Dalam banyak kasus, kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh figur yang memiliki kuasa dan kedekatan emosional, seperti guru, pengasuh, atau pemuka agama.

Sayangnya, sistem pengawasan internal di sekolah masih lemah. Banyak sekolah belum memiliki mekanisme pelaporan yang efektif atau unit konseling yang dapat merespons secara profesional dan rahasia.

Evaluasi dan Rekomendasi: Pemerintah Harus Belajar dan Bertindak

Kasus ini menandakan kegagalan negara dalam membangun sistem pendidikan yang melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Beberapa hal yang perlu segera dilakukan pemerintah:

  • Audit etika dan psikologis guru, terutama di wilayah-wilayah terpencil.
  • Pendidikan seksual yang benar di sekolah, agar anak mampu mengenali dan melaporkan tindakan tidak pantas.
  • Saluran aduan anonim dan independen bagi siswa dan orang tua.
  • Keterlibatan psikolog dan pekerja sosial di satuan pendidikan dasar.
  • Pelatihan etika profesi secara berkala untuk seluruh pendidik dan tenaga kependidikan.

Penutup: Jangan Lagi Ada Korban dalam Diam

Kasus di Sabu Raijua adalah peringatan keras bahwa kejahatan seksual dalam dunia pendidikan masih mengintai anak-anak Indonesia, terutama di wilayah dengan pengawasan yang minim. Negara tak boleh lagi merespons kasus-kasus ini hanya dengan penindakan setelah terjadi. Harus ada transformasi sistemik untuk menjamin setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang aman, layak, dan bermartabat.

Karena bila ruang kelas sudah tak aman bagi anak-anak, di mana lagi mereka bisa belajar tanpa rasa takut?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *