Oleh: Tim Investigasi | 3 Juni 2025
Jakarta/Kupang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 telah mencetak sejarah dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Mei 2025 itu, MK menegaskan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan dasar secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta, sebagai bentuk nyata pemenuhan hak warga negara. Namun investigasi kami menunjukkan bahwa di balik putusan monumental ini, masih terdapat celah implementasi yang berisiko memperdalam ketimpangan.
Kata MK: Gratis untuk Semua
MK dengan jelas menyatakan bahwa pendidikan dasar tidak boleh menjadi beban biaya bagi warga negara. Jika sekolah negeri tidak tersedia atau tidak mampu menampung siswa, maka negara berkewajiban membiayai siswa yang terpaksa masuk sekolah swasta. Artinya, tidak boleh ada satu anak pun yang ditinggalkan hanya karena ia miskin atau tinggal jauh dari fasilitas pendidikan negeri.
“Negara wajib menjamin semua anak usia SD dan SMP dapat belajar tanpa beban biaya,” tegas Andhyka Muttaqin, pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya (31/5/2025).
Namun, apakah itu berarti semua sekolah swasta kini harus menggratiskan biaya? Jawabannya: tidak. Negara tidak diwajibkan membiayai seluruh operasional sekolah swasta, tetapi harus hadir untuk membiayai siswa dari kalangan miskin yang tidak punya alternatif lain.
Di Lapangan: Realitas Masih Jauh
Investigasi kami di sejumlah kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT)—daerah dengan rasio ketimpangan pendidikan tinggi—menunjukkan bahwa banyak sekolah swasta masih menarik biaya penuh dari siswa, bahkan dari keluarga miskin.
Di Kabupaten Alor, orang tua siswa di salah satu sekolah swasta mengaku belum menerima sosialisasi apa pun dari dinas pendidikan setempat terkait bantuan biaya pasca-putusan MK. “Kami tetap bayar SPP, seragam, dan buku. Tidak ada bedanya dengan sebelum-sebelumnya,” kata Yuliana, orang tua siswa kelas 6 SD.
Di Kabupaten Lembata, kepala sekolah sebuah SD swasta menyatakan mereka belum tahu bagaimana skema pembiayaan baru akan diterapkan. “Kami tidak bisa tiba-tiba gratiskan semua siswa. Operasional kami dari uang sekolah. Kami tidak dapat bantuan dari pemerintah,” katanya.
Kelemahan Sistem: Tidak Ada Skema Teknis
Hingga berita ini ditulis, Kementerian Pendidikan belum merilis pedoman teknis terkait pelaksanaan putusan MK. Tidak ada kejelasan mengenai:
- Mekanisme verifikasi siswa miskin
- Bentuk bantuan yang diberikan (apakah langsung ke siswa atau ke sekolah)
- Anggaran yang disediakan pemerintah daerah/pusat untuk implementasi
Akibatnya, sekolah swasta masih beroperasi seperti biasa: menarik biaya, dan mencoret siswa yang tidak mampu membayar.
“Putusan MK ini adalah peringatan penting. Tapi kalau tanpa strategi dan peta jalan implementasi, maka ini hanya akan jadi retorika konstitusional belaka,” kata Prof. Sutrisno, guru besar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta.
Potensi Risiko: Tambal Sulam dan Ketimpangan Baru
Jika tidak ada regulasi lanjutan, daerah-daerah dengan sekolah negeri minim akan menjadi korban. Banyak siswa miskin di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) terpaksa masuk sekolah swasta tanpa subsidi, dan kembali terjebak dalam lingkaran putus sekolah.
Sementara itu, daerah perkotaan yang kaya pilihan sekolah negeri bisa lebih cepat merespons, menciptakan ketimpangan baru antarwilayah.
Kesimpulan: Antara Konstitusi dan Realitas
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah langkah maju, tetapi tanpa kebijakan turunan yang konkret dan anggaran yang memadai, hal itu berisiko hanya menjadi dokumen hukum tanpa daya paksa.
Negara ditantang untuk benar-benar hadir, bukan hanya di teks undang-undang, tetapi di ruang kelas anak-anak Indonesia yang terancam putus sekolah karena kemiskinan dan ketiadaan akses.