Kemajuan teknologi digital telah menempatkan manusia pada ruang baru yang serba terhubung, cepat, dan instan. Dalam dunia pendidikan, kehadiran teknologi seperti smartphone telah diadopsi dengan berbagai alasan: sebagai alat bantu pembelajaran, akses informasi, hingga sarana komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua. Namun di balik euforia ini, muncul keprihatinan yang tidak kalah penting: apakah kita masih mengendalikan teknologi, atau justru sedang dikendalikan olehnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat kembali pada gagasan filsuf Jerman Martin Heidegger, terutama dalam dua konsep pentingnya: Gestell dan Gelassenheit. Melalui lensa Heidegger, kita dapat menggali sisi tersembunyi dari penggunaan teknologi digital seperti smartphone di sekolah dan merumuskan sikap baru dalam menghadapinya.
Gestell: Ketika Teknologi Menyusun Dunia sebagai Sumber Daya
Dalam esainya yang terkenal, The Question Concerning Technology (1954), Heidegger mengungkapkan bahwa teknologi modern tidak sekadar alat netral yang digunakan manusia untuk tujuan tertentu. Teknologi modern bekerja dengan cara yang sangat berbeda: ia menyusun realitas, atau dalam istilah Heidegger disebut sebagai Gestell (enframing).
Gestell adalah cara berpikir teknologi modern yang menjadikan segala sesuatu — alam, manusia, waktu, bahkan pendidikan — sebagai “sumber daya” yang bisa diproses, dikontrol, dan dimanfaatkan. Dunia tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang memiliki makna dan kehadiran autentik, melainkan sebagai sekumpulan “stok” yang siap digunakan sesuai kehendak manusia yang produktif dan efisien.
Dalam konteks sekolah, kita dapat melihat bagaimana Gestell bekerja melalui penggunaan smartphone. Siswa, guru, dan bahkan materi pelajaran berubah menjadi data yang dapat diukur, dilacak, dan disebarkan. Nilai pelajaran tereduksi menjadi angka di aplikasi. Interaksi guru-siswa terpinggirkan oleh pesan singkat. Buku fisik tergeser oleh video pembelajaran. Semua menjadi bagian dari infrastruktur digital yang bekerja demi efisiensi, bukan makna.
Namun justru di titik inilah bahaya teknologi mengintai. Heidegger memperingatkan bahwa dalam cara berpikir Gestell, manusia sendiri juga akhirnya dikurung dalam kerangka teknis. Kita tidak lagi berhubungan dengan dunia secara bermakna, melainkan sebagai operator sistem. Siswa tidak lagi melihat pendidikan sebagai proses pemaknaan, melainkan sebagai tugas untuk menyelesaikan konten, mengisi kuis daring, atau mengumpulkan tugas di LMS.
Bahaya Smartphone di Sekolah: Gejala Gestell di Era Digital
Ketika smartphone masuk ke lingkungan sekolah tanpa refleksi filosofis, kita melihat munculnya berbagai masalah yang tampaknya teknis, tetapi sesungguhnya mencerminkan krisis makna pendidikan:
- Gangguan Perhatian dan Konsentrasi
Anak-anak kesulitan fokus dalam proses belajar karena notifikasi dan distraksi yang terus-menerus. Smartphone membingkai perhatian siswa ke dalam siklus pendek dan cepat, menjauhkan mereka dari kemampuan merenung dan memahami secara mendalam. - Ketergantungan Informasi Instan
Kemudahan mengakses jawaban melalui internet menurunkan semangat bertanya dan berpikir kritis. Pengetahuan bukan lagi hasil pencarian dan pengolahan, tetapi sekadar hasil copy-paste. Pendidikan terjebak dalam logika kecepatan, bukan kedalaman. - Degradasi Relasi Sosial
Interaksi antarsiswa dan antara guru-siswa makin minim karena masing-masing sibuk dengan layar masing-masing. Teknologi yang mestinya menghubungkan justru mengasingkan. - Komodifikasi Proses Belajar
Platform digital dan aplikasi pembelajaran menjadikan pendidikan sebagai produk. Siswa sebagai konsumen, guru sebagai penyedia konten. Di sini, makna pendidikan sebagai relasi eksistensial digantikan oleh transaksi fungsional.
Semua gejala ini menunjukkan bahwa teknologi — dalam hal ini smartphone — bukan sekadar alat netral. Ia membawa cara berpikir yang mengubah struktur kehidupan sekolah secara fundamental. Di titik ini, kita berada dalam jepitan Gestell: segalanya, termasuk manusia, disederhanakan menjadi sumber daya teknis.
Gelassenheit: Menemukan Sikap Lepas dan Terbuka
Heidegger tidak berhenti pada kritik. Dalam pemikirannya yang lebih kontemplatif, terutama dalam teks Gelassenheit (1959), ia menawarkan semacam sikap alternatif terhadap teknologi. Gelassenheit dapat diterjemahkan sebagai “letting-be” — sikap membiarkan sesuatu hadir apa adanya, tanpa harus selalu menguasai, mengatur, atau memanfaatkannya.
Dalam konteks pendidikan dan penggunaan smartphone, Gelassenheit mengajak kita untuk tidak serta-merta menolak teknologi, tetapi juga tidak larut dalam pemanfaatannya secara buta. Kita perlu mengambil jarak reflektif, mengembangkan keterbukaan terhadap hakikat pendidikan yang lebih dalam — yakni proses menjadi manusia yang utuh.
Sikap Gelassenheit bisa diwujudkan di sekolah melalui:
- Pendidikan Literasi Digital Kritis: Mengajarkan siswa dan guru untuk memahami bagaimana teknologi membentuk cara berpikir dan bertindak mereka. Ini bukan hanya soal etika digital, tapi tentang kesadaran eksistensial.
- Penggunaan Teknologi Secara Kontekstual dan Bijak: Smartphone hanya digunakan ketika benar-benar mendukung proses belajar bermakna, bukan sebagai pengisi waktu atau pengganti relasi langsung.
- Ruang dan Waktu untuk Hening dan Refleksi: Sekolah menyediakan waktu tanpa gawai, agar siswa bisa merenung, berdialog, atau mengalami dunia secara langsung — tanpa perantara layar.
- Membangun Relasi Otentik: Guru tetap menjadi subjek utama dalam pendidikan, bukan digantikan algoritma. Interaksi manusiawi harus menjadi pusat dari seluruh proses belajar.
Kesimpulan: Memanusiakan Kembali Sekolah di Era Digital
Heidegger mengingatkan kita bahwa bahaya terbesar teknologi bukanlah kerusakan teknis, melainkan hilangnya hubungan manusia dengan makna dan keberadaan. Dalam konteks pendidikan, ini berarti hilangnya proses pemanusiaan siswa dalam pusaran efisiensi, data, dan kecepatan.
Smartphone, jika tidak disikapi dengan refleksi dan kebijaksanaan, bisa menjadi alat Gestell yang membingkai pendidikan sebagai mesin produksi nilai dan data. Namun dengan sikap Gelassenheit, kita masih bisa mengambil jarak, bersikap lepas, dan membiarkan pendidikan tumbuh sebagai ruang pembentukan manusia, bukan hanya pengguna teknologi.
Maka, tanggung jawab kita sebagai pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat adalah menata ulang relasi kita dengan teknologi — bukan menolaknya, tetapi menjinakkannya agar tidak menjinakkan kita terlebih dahulu.