Buramnya Pendidikan di NTT: Antara Janji Pemerintah dan Realitas di Lapangan

Share

Kupang, NTT– Di balik gemuruh janji pemerataan pendidikan nasional, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berdiri sebagai salah satu provinsi dengan angka melek huruf terendah di Indonesia. Jauh dari hiruk-pikuk kota besar, di pelosok-pelosok NTT, ribuan anak menempuh pendidikan dalam kondisi yang sulit dibayangkan layak.

Sekolah Tanpa Dinding, Guru yang Hilang

Di Kecamatan Faut Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kondisi memprihatinkan dialami oleh SD Inpres Bileon. Sembilan ruang kelas di sekolah yang dibangun sejak tahun 1983 nyaris roboh. Dinding retak, plafon lapuk yang pernah runtuh mengenai siswa, dan atap yang bocor menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi setiap hari. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar terpaksa dilakukan di luar ruangan, bukan sebagai bagian dari konsep “sekolah alam”, melainkan demi menjaga keselamatan jiwa guru dan siswa.

“Kami semakin khawatir melaksanakan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas karena keselamatan jiwa kami terancam,” ungkap Kepala Sekolah Yohanis Tobe.

Sekolah ini memiliki 12 guru, yang terdiri dari 4 ASN, 2 P3K, dan 6 guru honorer, untuk melayani 173 peserta didik. Dengan keterbatasan jumlah guru dan fasilitas, beban pengajaran menjadi tidak sebanding.

Lebih jauh, kondisi ini tidak hanya menghambat proses belajar-mengajar, tapi juga berpotensi mengikis semangat belajar para siswa. Mereka harus bergelut dengan cuaca panas dan hujan saat belajar di luar kelas, dan tidak jarang harus menghentikan pelajaran lebih awal karena tidak ada tempat berteduh. Dalam situasi seperti ini, mimpi anak-anak untuk menggapai masa depan yang lebih baik terasa makin sulit diwujudkan.

Anggaran Besar, Hasil Kecil

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengalokasikan anggaran besar untuk sektor pendidikan dalam APBD tahun 2023, yakni mencapai Rp5,4 triliun, sesuai dengan data yang dirilis oleh Pemerintah Provinsi NTT. Namun, pelaksanaan anggaran ini menghadapi sejumlah kendala nyata di lapangan.

Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT tahun 2023 mengungkap adanya beberapa temuan terkait pengelolaan anggaran, khususnya dalam belanja infrastruktur dan pengadaan alat pembelajaran. Salah satu temuan BPK menyebutkan bahwa tidak semua fasilitas yang dibangun atau alat yang disediakan dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan kondisi sekolah dan kurangnya pendampingan teknis.

Contohnya, di Kabupaten Manggarai Barat, SMK Negeri 1 Boleng yang sudah beroperasi selama empat tahun belum memiliki akses listrik. Akibatnya, 21 unit komputer yang diterima dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT terpaksa disimpan di sekolah lain yang memiliki fasilitas listrik. Kepala sekolah setempat menyampaikan bahwa kondisi ini menghambat proses pembelajaran dan tidak sesuai dengan tujuan awal pengadaan komputer tersebut.

Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Sikka, tepatnya di SMP Negeri 1 Henga, Desa Henga, Kecamatan Talibura. Guru dan siswa harus mendaki Bukit Tobikulubelek untuk mengakses sinyal internet yang diperlukan dalam pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Warga setempat bahkan membangun tenda di bukit tersebut untuk mendukung kegiatan belajar mengajar yang memanfaatkan sinyal internet.

Kondisi ini menegaskan perlunya perhatian lebih dari pemerintah daerah dan pusat agar program bantuan pendidikan tidak hanya berbentuk simbolis, tetapi juga berdampak nyata bagi peningkatan kualitas pembelajaran di wilayah terpencil seperti NTT.

Digitalisasi yang Gagal di Tanah Tanpa Sinyal

Program digitalisasi pendidikan melalui platform Merdeka Belajar dan penggunaan Learning Management System (LMS) memang menjadi kebijakan pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun, realitas di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti Alor, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan tantangan serius dalam pelaksanaannya.

Sejumlah guru di daerah ini mengeluhkan keterbatasan sarana penunjang digitalisasi, termasuk kurangnya perangkat komputer dan akses internet yang sangat terbatas. Seorang guru SMP di Alor mengungkapkan bahwa mereka sulit melaporkan aktivitas belajar mengajar secara digital karena ketiadaan fasilitas memadai. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur listrik dan jaringan internet yang belum merata di wilayah tersebut.

Pelatihan daring untuk guru di daerah 3T yang dipaksakan tanpa dukungan jaringan memadai seringkali hanya menjadi formalitas. Guru-guru menghadapi kesulitan untuk mengakses pelatihan berbasis online, sehingga dampaknya terhadap peningkatan mutu pembelajaran masih sangat minim. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan bahwa masih ada wilayah di Indonesia, terutama di daerah 3T, yang belum mendapatkan akses internet yang layak untuk mendukung pembelajaran digital.

Pendidikan Gagal Menjadi Tangga Mobilitas Sosial

Pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan serius yang menghambat mobilitas sosial masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT pada tahun 2024 hanya mencapai 62,5, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 71,9. Hal ini mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan yang berdampak pada kesempatan sosial dan ekonomi masyarakat.

Selain itu, mantan Penjabat Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto (Desember, 2024), mengungkapkan bahwa lebih dari 130.000 anak di NTT tidak bersekolah, dan hanya 22% satuan pendidikan yang mencapai kompetensi minimal literasi. Kondisi geografis yang terdiri dari lebih dari 500 pulau menjadi tantangan tersendiri dalam menyediakan akses pendidikan yang berkualitas.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat dapat meningkatkan relevansi pembelajaran dan memperkuat identitas siswa. Sebagai contoh, LLDIKTI Wilayah XV menggelar workshop pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal pada Oktober 2024, yang menekankan pentingnya sinergi antara universitas, industri, dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik wilayah timur Indonesia, khususnya NTT.

Harapan dari Pinggiran

Di tengah tantangan besar pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT), muncul berbagai inisiatif dari komunitas dan perguruan tinggi yang membawa harapan bagi masa depan pendidikan daerah ini.

Di Kabupaten Rote Ndao, program “Guru Muda Garda Depan” yang digagas Yayasan Pendidikan Astra – Michael D. Ruslim (YPA-MDR) menghadirkan guru-guru muda yang berkomitmen mengajar dengan metode kreatif dan interaktif. Program ini berhasil meningkatkan prestasi akademik dan non-akademik siswa, sekaligus memperkuat kapasitas guru lokal demi keberlanjutan pendidikan berkualitas di wilayah tersebut.

Sementara itu, di Kabupaten Sikka, mahasiswa Universitas Nusa Nipa dan IKIP Muhammadiyah Maumere menjalankan program literasi desa di Kampung Kabor, yang telah menjangkau lebih dari 200 anak. Melalui pondok baca dan kegiatan literasi digital, mereka mendorong peningkatan kemampuan baca tulis anak-anak sekaligus membangun budaya literasi di komunitas tersebut.

Meski masih banyak kendala, terutama soal infrastruktur dan sumber daya, upaya nyata dari para guru muda, mahasiswa, dan komunitas lokal ini menjadi sinar harapan bahwa pendidikan di NTT bisa bangkit dan menjadi tangga mobilitas sosial bagi generasi muda di pinggiran.

Penutup: Saatnya Mendengar dari Timur

Masalah pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan sekadar angka putus sekolah atau minimnya sarana prasarana. Ia mencerminkan kenyataan bahwa komitmen pemerataan pendidikan belum sepenuhnya menjangkau kawasan timur Indonesia. Pendidikan bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan hak dasar setiap warga negara—dan di NTT, hak ini masih harus diperjuangkan setiap hari.

Oleh karena itu, penting bagi publik dan pembuat kebijakan untuk mendorong transparansi dalam penggunaan anggaran pendidikan, memperkuat peran serta masyarakat lokal dalam merancang kebijakan pendidikan yang kontekstual, serta melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pelatihan guru, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Tanpa langkah konkret ini, ketimpangan struktural dalam akses dan mutu pendidikan di NTT akan terus berlanjut dan diwariskan lintas generasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *